Rabu, 14 Maret 2012

Seks Oral Sebabkan Kanker

Berhati-hatilah dengan seks oral. Para ilmuwan di Amerika Serikat mengatakan ada kaitan kuat antara kegiatan seks oral dan kanker. Mereka kini mencoba mengungkap mengapa human papillomavirus menyebabkan peningkatan kasus kanker mulut pada pria kulit putih di negara itu.

Bukti-bukti seputar hubungan kanker mulut dan seks oral sebenarnya sudah lama diungkapkan para peneliti. Para ahli bahkan menemukan kanker mulut akibat infeksi human papillomavirus (HPV) kini lebih banyak terjadi dibandingkan dengan akibat penggunaan tembakau. Di AS, antara tahun 1974-2007 telah terjadi peningkatan kasus kanker mulut sampai 225 persen, mayoritas pada pria kulit putih.

"Jika dibandingkan dengan orang yang mendapat infeksi oral atau tidak, faktor risiko terbesar adalah jumlah pasangan kegiatan seks oral. Semakin banyak jumlah pasangan, semakin tinggi risikonya terkena kanker," kata Maura Gllison dari Ohio State University.

Studi sebelumnya menyebutkan, seseorang yang pernah melakukan seks oral dengan enam atau lebih pasangan dalam hidupnya memiliki risiko kanker 18 kali lebih tinggi dari mereka yang jumlah pasangannya kurang dari enam orang.

Salah satu hal yang masih menjadi misteri adalah mengapa peningkatan kasus kanker mulut lebih banyak ditemui pada pria kulit putih. Dibutuhkan waktu panjang untuk menjawabnya. Namun, para ahli yakin teknologi untuk mendeteksi HPV yang sudah dipakai di bidang kanker serviks akan membantu.

Saat ini diketahui terdapat 150 tipe HPV yang berbeda dan 40 tipe di antaranya bisa menyebabkan penyakit menular seksual. Beberapa di antaranya menyebabkan kutil kelamin dan sisanya bisa meningkatkan risiko kanker mulut, anal, vagina, dan penis.

source : http/:www.ceria.bkkbn.go.id

8 Mitos Seputar Edukasi Seks

Setiap anak muda memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan seks secara akurat dan seimbang, termasuk informasi tentang alat kontrasepsi, misalnya kondom.

Lengkapi dengan penjelasan mengenai pelayanan kesehatan yang profesional, seks yang aman, dan sebagainya. Jangan sampai hak itu terabaikan, gara-gara kita lebih percaya mitos.

Inilah beberapa mitos tentang pendidikan seks yang masih merongrong sebagian besar masyarakat. Mitos ini sebaiknya perlu diluruskan sehingga generasi muda mendapatkan informasi yang tepat dan benar tentang kesehatan reproduksi dan seksual.

1. Mitos: Pendidikan seks hanya perlu diberikan kepada orang yang mau menikah. Fakta: Menurut sebuah penelitian, sikap seperti itu tidak bakal menunda aktivitas seksual di kalangan remaja. Justru pemahaman yang sangat sedikit dan keliru tentang seksualitas memudahkan banyak remaja terjerumus ke dalam perilaku seks tidak sehat.

2. Mitos: Pendidikan seks mendorong para pelajar menjadi aktif secara seksual. Fakta: Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengevaluasi 47 program di Amerika Serikat dan beberapa negara lain. Dalam 15 studi, pendidikan seks dan HIV/AIDS menambah aktivitas seksual dan tingkat kehamilan serta infeksi menular seksual. Namun, 17 studi lain menunjukkan, pendidikan seks dan HIV/AIDS menunda aktivitas seksual, mengurangi jumlah pasangan seksual, juga mengurangi tingkat kejadian infeksi menular seksual dan kehamilan yang tak direncanakan.

3. Mitos: Mengajarkan alat kontrasepsi akan mendorong para pelajar aktif secara seksual dan meningkatkan angka kehamilan pada remaja. Fakta: Para ahli yang telah mempelajari isu ini menyimpulkan, pendidikan tentang seks dan HIV/AIDS yang komprehensif, termasuk program ketersediaan kondom, tidak menambah aktivitas seksual, tetapi justru efektif dalam mengurangi perilaku seksual berisiko tinggi di antara para remaja.

4. Mitos: Kerap terjadi kegagalan alat kontrasepsi sehingga kita lebih baik mengajari para remaja untuk bersikap menghindarinya. Fakta: Kontrasepsi modern sangatlah efektif, asalkan memilih jenis yang benar-benar cocok dan digunakan secara benar. Rata-rata kehamilan pada perempuan yang menggunakan suatu jenis pil sekitar 0,03 persen, sementara yang memakai kondom untuk perempuan sekitar 21 persen, dan yang tanpa KB sekitar 85 persen. Bandingkanlah.

5. Mitos: Alat kontrasepsi tidak menangkal HIV dan infeksi menular seksual lainnya. Fakta: Memang hanya kondom yang memberikan perlindungan yang signifikan terhadap penularan infeksi seksual, termasuk HIV. Itu sebabnya para remaja sebaiknya mendapat pendidikan yang benar mengenai kondom.

6. Mitos: Kondom memiliki angka rata-rata kegagalan yang tinggi. Fakta: The National Institutes of Health (TNIH) menjelaskan, kondom sangat efektif untuk menangkal penularan HIV dan mencegah kehamilan. TNIH juga melaporkan, studi laboratorium memperlihatkan bahwa kondom mampu mencegah penyakit akibat infeksi menular seksual yang lain, seperti gonore, klamidia, dan trichomoniasis.

7. Mitos: Kondom tidak dapat melindungi kita dari HPV (Human papillomavirus). Fakta: Kondom memang tidak dapat menangkal infeksi virus pada bagian tubuh yang tidak tertutup kondom. Namun, TNIH melaporkan, penggunaan kondom dapat mengurangi risiko penyakit yang terkait dengan HPV, misalnya kanker serviks. Penyakit jenis ini dapat dicegah dengan penggunaan kondom secara konsisten dan efektif, serta deteksi dini HPV melalui pemeriksaan pap smear.

8 Mitos: Kondom tidak efektif untuk mencegah penularan HIV. Fakta: TNIH mengonfirmasikan bahwa kondom merupakan alat kesehatan masyarakat yang efektif untuk melawan infeksi HIV. Studi lain di Eropa terhadap yang disebut pasangan HIV-serodiscordant (pasangan di mana salah satunya sudah terinfeksi HIV dan yang satu sehat) menunjukkan tidak terjadi penularan pada pasangan yang sehat, di antara 124 pasangan yang menggunakan kondom setiap kali mereka berhubungan seks. Pada pasangan yang tidak secara konsisten menggunakan kondom, sekitar 12 persen terjadi penularan pada pasangan yang sebelumnya tidak terinfeksi

source : http/:www.ceria.bkkbn.go.id

25 Juta Meninggal akibat HIV, 60 Juta Terinfeksi

Hingga saat ini, setidaknya 60 juta orang terinfeksi HIV dan 25 juta meninggal akibat kasus yang berkaitan dengan virus mematikan ini, demikian disampaikan UNAIDS dalam paparan data terbarunya, Selasa kemarin, (24/11).

Ketika program pencegahan telah membantu menekan tingkat infeksi sebesar 17 persen selama lebih dari delapan tahun, total penderita HIV terus bertambah pada 2008. Pada akhir 2008, sebanyak 33,4 juta jiwa atau lebih dari 20 persen orang menderita penyakit ini jika dibandingkan dengan tahun 2000.

"Penambahan populasi penderita HIV yang terus meningkat menggambarkan efek kombinasi dari tingginya infeksi HIV baru dan dampak dari terapi ARV," ujar UNAIDS dalam laporan tahunannya.

Sub-Sahara Afrika tetap merupakan daerah yang paling terpengaruh karena menjadi rumah bagi 67 persen atau 22,4 juta dari yang saat ini hidup dengan virus HIV. Sementara itu, di Asia Selatan dan Tenggara, ada 3,8 juta orang sudah terinfeksi, tambah UNAIDS. Angka perbandingan Eropa Timur dan Asia Tengah adalah 1,5 juta.

UNAIDS mencermati, di wilayah-wilayah ini epidemi sedang mengalami "transisi yang signifikan". Walau epidemi di Asia masih terkonsentrasi di antara kelompok berisiko tinggi, seperti pekerja seks, pengguna narkoba, dan kaum homoseks, kini mulai berekspansi ke kelompok populasi risiko rendah.

Di Eropa Timur dan Asia Tengah, epidemi ditandai terutama oleh penularan melalui pengguna narkoba. Namun, kini mulai bergeser ke penularan lewat hubungan seksual yang signifikan.

source ; http/:www.ceria.bkkbn.go.id

Emosi: Bisa Positif dan Negatif

Tidak sedikit orang yang menyesal setelah melakukan tindakan fatal, seperti mengamuk atau merusak, yang dipicu oleh kemarahan tak terbendung. Ia sendiri tidak mengerti mengapa ia sampai melakukan sesuatu yang tak pantas. Marah adalah salah satu bentuk emosi yang perlu diwaspadai.

"Jadi, orang jangan suka emosi!" "Sudah-sudah! Tidak baik membuat orang emosi!" Kalimat sejenis itu tak jarang kita dengar. Kata emosi sering kali digunakan dalam kalimat seperti itu sehingga memiliki konotasi negatif, yakni marah.

Sebetulnya terdapat berbagai jenis emosi: ada yang negatif, ada yang positif. Marah hanyalah salah satu jenis emosi negatif.

Selain marah, yang termasuk emosi negatif, antara lain, waspada, benci, jijik, sedih, dan ngeri. Adapun yang termasuk emosi positif antara lain gembira, menerima, heran, dan takjub.

Dalam interaksi sosial, emosi memegang peran sangat penting. Bayangkan bagaimana seandainya relasi antarpribadi berlangsung tanpa disertai emosi: kita berkomunikasi dengan ekspresi datar, tanpa lonjakan perasaan.

Meskipun demikian, ekspresi emosi meledak-ledak tak dapat diterima oleh masyarakat. Itulah sebabnya diperlukan pengendalian emosi, bukan hanya untuk mengurangi ekspresi emosi yang tidak diharapkan, melainkan juga mengendalikan beberapa bentuk emosi yang sering kali menyulitkan kita sendiri, seperti kemarahan, kecemasan, rasa bersalah, dan juga cinta romantis.

Bagaimana mengendalikan emosi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu memahami apa itu emosi dan bagaimana proses kerja emosi.

Memahami emosi
Eastwood Atwater, penulis buku Psychology of Adjustment, mengartikan emosi sebagai suatu kondisi kesadaran yang kompleks, mencakup sensasi di dalam diri dan ekspresi ke luar yang memiliki kekuatan memotivasi untuk bertindak.

Ketika kita mengalami emosi tertentu, misalnya gembira, tentu ada penyebabnya: berjumpa dengan orang yang dikasihi, mendapat bonus, dan sebagainya. Demikian pula ketika mengalami emosi sedih, hal itu tentu ada penyebabnya: gagal ujian, putus hubungan dengan orang yang dicintai, dan sebagainya.

Peristiwa-peristiwa yang yang kita hadapi itu akan mengakibatkan otot-otot secara refleks berkontraksi karena mengalami stimulasi semacam sengatan listrik. Selanjutnya, dengan itu kita menyadari dan menginterpretasi bahwa kita sedang gembira atau sedih, lalu interpretasi itu menentukan bagaimana kita bertindak.

Berdasarkan keadaan tersebut, kita dapat menemukan bahwa emosi terdiri dari tiga komponen, yaitu adanya perubahan fisiologis (sensasi pada tubuh), kesadaran dan interpretasi yang bermakna subyektif akibat adanya sensasi, serta kemungkinan mengekspresikan kesadaran itu dalam tindakan.

Berikut kita coba memahami lebih jauh mengenai tiap-tiap komponen berdasarkan penjelasan Atwater. Hal ini penting karena, dengan memahami komponennya, kita akan menemukan cara mengendalikan emosi melalui komponen tersebut.

- Sensasi tubuh
Penjelasan seperti di atas, yakni bahwa persepsi (interpretasi) kita terhadap stimulus eksternal dirangsang secara otomatis oleh adanya perubahan pada tubuh, merupakan teori lama dalam psikologi. Hasil temuan yang lebih baru menunjukkan, lokasi sumber emosi ternyata ada pada sistem saraf pusat, yakni otak.
Emosi melibatkan jaringan kerja perubahan fisiologis cukup rumit, yang memengaruhi jiwa dan tubuh secara simultan. Ketika sebuah stimulus dirasakan oleh indra, impuls (sinyal/pesan) dikirim melalui saraf-saraf menuju pusat otak.

Di sana proses impuls terbagi dua. Sebagian terkirim ke korteks, tempat stimulus disadari dan emosi dirasakan. Sebagian lainnya terkirim menuju otot, tempat perubahan tubuh dan perilaku terjadi.

Hasil temuan neurologis tersebut mengungkapkan, manusia dapat mengontrol emosi dengan memanipulasi sensasi tertentu. Contohnya, kita dapat mengendalikan emosi sakit dengan mengeblok pintu gerbang yang memungkinkan sinyal sakit terkirim ke otak. Hal ini telah dipraktikkan dalam dunia kesehatan, salah satunya dalam akupuntur.

- Interpretasi sensasi
Hadirnya suatu stimulus di hadapan kita bukan saja menimbulkan sensasi secara fisiologis, melainkan juga menimbulkan interpretasi. Sensasi fisiologis menentukan seberapa besar intensitas emosi, sedangkan interpretasi yang merupakan komponen mental ini menentukan kualitas atau makna suatu emosi.

Jadi, bila yang kita alami adalah emosi marah, melalui perubahan fisiologis (pada tubuh), maka kita dapat merasakan seberapa kuatnya kemarahan kita. Selain itu, melalui pengalaman mental (proses interpretasi), kita memahami mengapa kita marah dan makna-makna lain dari kemarahan kita.

Mengenai interpretasi, sepasang peneliti, Schacter & Singer, menemukan bahwa gambaran mental (apa yang kita pikirkan) dan situasi sosial yang ada merupakan petunjuk sangat penting yang menentukan bagaimana interpretasi kita terhadap sensasi-sensasi pada tubuh.
Contoh untuk ini adalah ketika seseorang minum secangkir kopi. Saat itu ia mungkin menyadari dan mungkin juga tidak menyadari efek kopi itu terhadap fisiologi tubuhnya. Sesaat setelah meminum kopi, jantungnya berdetak kencang.

Bila saat itu ia berhadapan dengan seseorang yang berperilaku kasar, bila ia tidak menyadari efek kopi terhadap detak jantung, ia akan menginterpretasi bahwa orang yang ada di hadapannya itu telah membuatnya marah sampai jantungnya berdetak lebih kencang.

Namun, bila seseorang menyadari efek kopi yang meningkatkan detak jantung, ketika berhadapan dengan orang yang berperilaku kasar, ia cenderung menginterpretasi debaran jantungnya akibat minum kopi, bukan akibat perilaku orang di hadapannya.
Contoh yang sama juga dapat berlaku dalam situasi sosial yang berbeda. Ketika kita mengalami sensasi kehangatan akibat meminum satu sloki anggur (wine), bila sesaat kemudian di hadapan kita hadir seorang lawan jenis yang cukup menarik, bila tidak menyadari efek fisiologis dari anggur, maka kita cenderung menginterpretasi kehangatan itu sebagai efek dari kehadiran orang lain tersebut. Kita dapat jatuh cinta karenanya!
Dengan gambaran di atas, kita tahu bahwa emosi kita merupakan gabungan dari faktor fisiologis dan faktor proses mental (kognitif). Dengan pemahaman ini, kita dapat mengenali emosi-emosi yang melanda diri kita dengan lebih baik.
Kita dapat menelusuri apa yang membangkitkan emosi kita: adakah faktor fisiologis yang ikut berperan? Apakah kita mengonsumsi makanan, minuman, atau obat tertentu yang memengaruhi fisiologi tubuh kita? Apakah faktor hormonal, misalnya haid, menopause, andropause? Bila benar-benar tidak ada, maka kita dapat menyimpulkan bahwa emosi kita benar-benar dipicu oleh situasi sosial yang ada.
Dengan mengenali asal muasal emosi seperti itu, kita dapat lebih mengendalikan emosi. Seorang wanita yang menjadi mudah marah menjelang atau sedang haid, bila ia menyadari dampak situasi fisiologis haidnya, maka ia lebih dapat mengendalikan diri untuk tidak marah meski ada pemicu dari lingkungan sosialnya (pekerjaan tidak lancar, anak membuat kecewa, dan sebagainya). Bayangkan bila kemarahan itu kita lepaskan begitu saja. Mungkin, situasinya justru berkembang tidak menguntungkan.
- Respons adaptif
Emosi sering dipahami sebagai perasaan; dan perilaku dipengaruhi oleh perasaan. Bagaimana emosi memengaruhi perilaku? Dalam ilmu psikologi, seseorang yang menerima stimulus akan segera melakukan penilaian intuitif: baik atau buruk.

Penilaian ini menjadi petunjuk atau penentu perilaku. Pada binatang terdapat respons emosi primitif, yakni fight (berkelahi) atau flight (kabur). Demikian pula emosi kita, yang mengarahkan pada tindakan tertentu: mendekat atau menghindar.
Contohnya, bila kita diserang terus-menerus oleh seseorang yang penuh kuasa (powerful), maka kita akan merasa takut. Dalam situasi demikian, muncul insting lari/kabur (flight) yang biasanya terjadi dalam situasi ketika kita merasa tidak berdaya. Namun, bila serangan terus-menerus itu datang dari orang yang menurut kita kurang berkuasa, maka perasaan kita adalah marah. Dalam situasi demikian muncul insting berkelahi (fight) yang biasanya berkembang dalam situasi saat kita merasa dapat menjadi penentu (mengendalikan).
Tampak bahwa emosi memiliki peran penting dalam hidup. Emosi memiliki dua fungsi untuk adaptasi. Pertama, hal itu merupakan predisposisi untuk melakukan respon adaptif yang memungkinkan kita melakukan pertahanan hidup (survival). Kedua, hal itu memperkuat sosialitas (social ties) antara seseorang dan yang lain dalam kelompoknya.
Fungsi adaptif yang kedua ini tampak jelas dalam situasi sehari-hari. Emosi cinta orangtua terhadap anak membantu orangtua menentukan bagaimana perilakunya terhadap sang anak. Cinta romantis membantu perilaku pasangan untuk saling mendekat. Emosi negatif, seperti cemburu, marah, dan sebagainya, juga memiliki fungsi, yaitu meniadakan perilaku yang tidak diinginkan dalam relasi sosial.
Simpul

Satu hal yang perlu diingat adalah, kita memiliki kebebasan untuk mengendalikan emosi kita. Bila kita dapat mengendalikan emosi, berarti kita juga mengendalikan perilaku.
Kapasitas ini perlu diberdayakan, terutama bila memiliki kecenderungan mengembangkan emosi yang destruktif. Tanpa pengendalian emosi, tujuan hidup dalam jangka panjang mungkin tidak tercapai akibat perilaku kita berakibat fatal.

Mengendalikan emosi tidak berarti menekan emosi yang kita alami ke dalam alam bawah sadar, yakni dengan mengabaikan atau menganggap emosi itu tidak ada. Kita perlu mengakui emosi-emosi kita dalam hati, tanpa mengekspresikannya begitu saja.
Kita perlu mengekspresikan emosi dengan cara yang dapat diterima oleh lingkungan. Ini merupakan salah satu cara untuk tetap sehat.

source : http/:www.ceria.bkkbn.go.id

Rabu, 07 Maret 2012

HOTLINE KONSELING/SMS KONSELING

PIK Remaja Maju Bersama memiliki layanan Hotline Konseling. Jadi siapapun bisa menggunakan fasilitas ini untuk melakukan Konseling maupun memperoleh Informasi.

Media Layanan ini bisa melalui :
1. Facebook     : PIK Remaja Maju Bersama
2. E-mail           : Maju_bersama36@yahoo.com
3. SMS             : 1. Tiara Melyanto (087896910895)
                           2. Suherman        (085764357057)

Identitas orang yang melakukan konseling dirahasiakan.